Segmen anak muda merupakan pasar potensial. Ini diyakini benar oleh pelaku usaha yang menggarap produk-produk yang tidak sekadar menonjolkan fungsi, tapi juga selalu mengikuti tren yang berkembang. Produk itu di antaranya, t-shirt, topi, ikat pinggang, tas hingga aksesoris. Semua produk itu menjadi sasaran empuk pelaku usaha, dengan menghadirkan model yang pas dengan dunia remaja, gaul.
Salah satu remaja yang selama ini menggandrungi produk-produk gaul adalah Doni Peristiwanto. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya Timur ini hampir setiap bulan selalu berburu barang-barang yang dianggapnya menarik di sejumlah distro di Surabaya.
“Bagi saya, barang-barang di distro cukup berkarakter, dan memang hampir semua produk yang dijual menyasar ke anak muda. Saya sendiri banyak mengoleksi kaos, topi dan tas,” ujar remaja 19 tahun ini.
Selain model dan coraknya yang menantang, ketertarikannya pada produk gaul juga karena harganya yang relatif terjangkau dan sesuai dengan kantong pelajar dan mahasiswa. “Meski murah, kualitasnya tak kalah dengan barang bermerek,” ucap Doni.
Ketertarikan konsumen termasuk Doni tak ada apa-apanya tanpa keberadaan produsen dan pemasok produk gaul ke sejumlah distro atau gerai. Taufik Prasetya misalnya, selama ini dikenal sebagai salah satu produsen tas gaul yang banyak memasok produknya ke beberapa distro, grosir hingga gerai di Surabaya, Sidoarjo, Malang, bahkan luar pulau seperti Makasar dan Kalimantan.
“Saya fokus di tas karena pemain di produk ini untuk barang gaul yang masuk ke distro masih minim. Tas, bagi saya tak hanya menjual model, namun juga fungsi,” kata arek Surabaya 30 tahun ini.
Taufik menekuni usaha pembuatan tas sejak dua tahun lalu. Saat itu, ia diminta salah satu pemilik distro untuk membuat tas yang banyak digandrungi remaja, yakni tas slempang, selain tas punggung dan tas laptop dengan corak yang warna-warni.
Ada tiga merek yang saat ini telah dibesutnya, Dzhoof, Skulltoys dan Koazter Kidz. Masing-masing merek memiliki puluhan model. Paling tidak, Taufik mampu menciptakan tiga model dengan 6 corak setiap bulannya.
“Uniknya produk distro adalah kami berupaya untuk tidak memproduksi massal. Jadi terbatas. Ini yang membuat pembeli suka,” ungkap pria lajang ini, di workshopnya di kawasan Petemon Barat Surabaya.
Dengan harga yang dipatok di kisaran Rp 55.000-85.000 per piece, rata-rata ia mampu memproduksi sekitar 100-150 piece per bulan. Guna memenuhi permintaan pembeli, Taufik dibantu dua orang tenaga kerja.
“Kami menomorsatukan kualitas. Untuk pasar Jatim dan Indonesia Timur, kami berani bersaing dengan produk branded,” sebut Taufik yang mengungkap banyak permintaan melalui online.
Terkait pasar, Taufik menyebut masih cukup potensial, khususnya saat pergantian tahun ajaran baru di sekolah. Saat momen itu, omzetnya bisa naik dua kali lipat. Meski pasarnya telah jelas, toh dia masih berobsesi memiliki distro sendiri yang khusus memajang produk tas gaul.
“Di Surabaya belum ada distro yang khusus tas. Ini masih menjadi obsesi bagi saya,” imbuhnya.
Jual Desain
Produk lain ‘pengisi’ distro adalah kaos. Siapa lagi kalau bukan pelaku usaha kaos sablon.Meski pelakunya terus menjamur, namun omzet yang bisa direguk para pelaku usahanya masih memuaskan.
Ini diakui Abibayu Gustri Kamadjaja, pemilik merek kaos GaeKonTok. “Kalau membuka usaha kaos, maka juallah desainnya, jangan semata-mata kaosnya. Ini karena kompetisi di usaha ini sudah sangat ketat, kalau desainnya standar biasanya penjualan susah, tapi kalau unik pasti dicari,” jelasnya.
Sejumlah kaos merek lokal yang memiliki penetrasi pasar cukup bagus selama ini antara lain Cak-Cuk, Sawoong, Lapola. “Kalau di Jogja punya Dagadu, di Bali punya Joger, Surabaya punya merek-merek itu. Mereka diterima karena keunikan desainnya. Disini GaeKonTok menjadi pemain baru yang menjual desain kata-kata Suroboyoan,” jelas mahasiswa Jurusan International Business Management (IBM) Universitas Ciputra ini.
Produksi kaosnya baru dirintis sebulan terakhir menggunakan modal pribadi sebesar Rp 40 juta. “Sistem pemasarannya selain buka counter di Jalan Kayun, juga distribution point antara lain di Hotel Java Paragon, Mirota dan Cafe BlackBird Jl Imam Bonjol,” ungkap Abibayu.
Sekali produksi sampai 200 potong, dalam seminggu bisa laku 40-50 potong. “Saya belum punya mesin dan sablon sendiri, jadi masih kerja sama dengan pihak ketiga. Tapi belanja bahan dan ide desain dari saya,” ujarnya.
Pria kelahiran 28 Januari 1990 ini awalnya menggarap produksi kaosnya itu bertiga dengan temannya. Salah satu mata kuliahnya mendorong mereka berwirausaha. Namun akhirnya usaha itu dikembangkannya sendiri.
“Kita menggarap ide ini sejak semester tiga karena alasan mata kuliah juga. Bisnis merchandise kan masih jarang, jadi potensi pasarnya cukup bagus,” kata alumnus SMA St Louis ini.
Menurut Abibayu, kaos GaeKonTok menyasar segmen menengah atas. “Ini karena bahannya katun kualitas 1 seperti kaos-kaos Giordano, makanya harganya kita standarkan semua Rp 73.000 untuk ukuran apapun,” terangnya.
Bungsu empat bersaudara ini mengaku, penjualan kaosnya tidak terpengaruh Ramadan dan Lebaran. “Sifatnya universal karena desainnya memang umum, jadi penjualannya tidak terpengaruh momen-momen tertentu,” pungkasnya. surya.co.id
Berlangganan
Bagikan di Facebook
Bagikan di Twitter
Laba Produk Gaul Tak Pernah Gundul
Bagikan di Facebook
Bagikan diTwitter
Bagikan di Google+